SUMBANGAN HEIDEGGER BAGI HERMENEUTIKA DALAM BEING AND TIME

Image

A. Pengantar

Filsafat Heidegger beranjak dari persoalan bahwa para filsuf telah banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia tetapi mereka mengabaikan kenyataan yang paling penting, yaitu bahwa dunia ada. Heidegger berusaha untuk mencari arti syarat awal eksistensi yang ia sebut sebagai Ada. Ada tidak dicari pada yang fisik melainkan lewat fenomena misalnya lewat fenomen tertawa, menangis, berjalan dan sebagainya. Fenomen yang didekati adalah pengada-pengada termasuk manusia. Ia menyebut manusia sebagai dasein (eksistensi). Dasein berarti berada-di-sana, di dunia.  Dunia mempunyai ciri referensial. Adanya selalu menunjuk pada sesuatu misalnya  palu menunjuk pada paku, paku menunjuk pada papan, papan menunjuk pada rumah dan seterusnya.   Melihat begitu pentingnya arti “dunia”, Heidegger menyebut kegiatan berada Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Salah satu kegiatan itu adalah memahami. Bagi Heidegger, pemahaman yang sesungguhnya itu tidak dilihat dalam suatu “pernyataan” sebagai buah nalar (ratio), melainkan dalam tingkat fundamental (tidak perlu dipikirkan lagi). Jadi, seseorang dikatakan memahami palu bukan karena ia bisa menyatakan palu adalah alat untuk menancapkan paku pada papan, melainkan jika tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menggunakan palu itu untuk menancapkan paku pada papan. Ia membiarkan palu (fenomen pengada) termanifestasikan apa adanya. Pemahaman lantas menjadi elemen penting hermeneutika. Karena Heideggerr berusaha mencari pemahaman melalui fenomen maka ia memakai metode Fenomenologi. Fenomenologinya merupakan hermeneutika terhadap fenomena.

B.    Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi

Fenomenologi merupakan pendekatan yang dirumuskan Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Kata Fenomenologi berarti ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (Phainomenon). Apa yang menampakkan diri? Bisa bermacam-macam: tumbuhan, hewan, meja, perasaan, pikiran, peristiwa, lembaga sosial dan seterusnya.

Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena pra-konseptual. Ia berusaha melihat fenomen sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu. Ini adalah penemuan baru Husserl. Meskipun demikian, bidang yang baru ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara Heidegger dan Husserl. Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita, menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru melihat media vital historisitas “keber-ada-an” manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran.

Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata “hermeneutik” itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time) bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah “hermeneutik Dasein”. Term tersebut mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl. Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kretif masa lalu.

Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain yaitu “historisitas”. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya  mengelaborasi “pola yang telah di bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing”. Heidegger berusaha  mengatasi  filsafat modern yang berpoporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam sejarah Ada (historisitas Ada). Apa itu sejarah Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya. Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana umtuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya.

C. Fenomenologi sebagai Hermeneutis.

Dalam bagian buku “Sein und Zeit” yang berjudul “The Phenomenological Method of Investigation”, Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai “hermeneutik”.  Apa kaitannya dengan fenomenologi? Dan apa kaitannya dengan hermeneutika? Sebelum membahas pertanyaan tersebut, penting dimengerti redefinisi Heidegger tentang fernomenologi.

Heidegger kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan kombinasi kata polimorfemik phainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai  berarti yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya. Sedangkan logos, oleh Heidegger, tidak diartikan sebagai ‘nalar’ atau ‘landasan’. Logos lebih berarti fungsi pembicaraan, yang membuat nalar atau landasan tersebut menjadi mungkin. Logos mempunyai fungsi yang tersembunyi yang menunjuk pada fenomena.

Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos  berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan pada kesadaran dan  kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa adanya. Heidegger, dalam Being and Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen. Maka ontologi harus menjadi fenomenologi.

Lantas apa hubungannya dengan hermeneutika? Sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika menjadi “interpretasi Dasein”. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi hermeneutika sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap.

D. Hakekat Pemahaman: Bagaimana Heidegger Melampaui Dilthey

Pemahaman (Verstehen) merupakan term khusus yang dipakai Heidegger. Maknanya berbeda dengan pemahaman yang  dimaksudkan oleh Schleirmacher dan Dilthey. Dalam pemikiran Schleirmacher, pemahaman didasarkan pada afirmasi filosofisnya terhadap identitas dalam. Karena itu, dalam pemahaman  seseorang menyatukan diri dengan pembicara atau penulis sebagai seorang yang dipahami. Dalam pemikiran Dilthey, pemahaman mengacu pada level komprehensi lebih dalam yang melibatkan perolehan  suatu gambar, puisi, atau fakta (sosial, ekonomi, psikologi) lebih dari sekedar datum, yakni sebagai suatu ekspresi hidup.

Bagi Heidegger, pemahaman merupakan kemampuan menangkap kemungkinan-kemungkinan hakekat eksistensi manusia. Pemahaman adalah cara berada di dunia, yang merupakan struktur eksistensial Dasein yang memungkinkan terjadi pengalaman ditingkat empiris serta memungkinkan terjadinya pengetahuan yang lainnya. Pemahaman merupakan dasar bagi semua interpretasi, dan senantiasa hadir dalam setiap kegiatan intepretasi. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan suatu proses ontologis, sebagai pengungkapan segala sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia.

Karakteristik penting pemahaman bagi Heidegger adalah bahwa ia selalu berlaku dalam suatu hubungan yang sudah diinterpretasikan. Dilthey menegaskan bahwa kebermaknaan selalu merupakan sesuatu yang merujuk ke dalam konteks keberhubungan, suatu persoalan prinsip yang sudah umum bahwa pemahaman selalu berlaku dalam sebuah lingkaran hermeneutis. Karena itu, Heidegger suka mengangkat “lingkaran hermeneutik”: manusia mencari pengetahuan karena belum tahu dan sudah tahu (pra pemahaman). Hermeneutika Heidegger melangkah lebih jauh dari Dilthey karena Heidegger mengeksplorasi implikasi lingkaran hermeneutis bagi struktur ontologis pemahaman eksistensi manusia dan interpretasinya. Akhirnya dapat dikatakan bahwa pemahaman dalam pemikiran Heidegger telah menjadi ontologis.

E. Dunia dan Hubungan Kita dengan Obyek di Dunia

Yang dimaksud dunia dalam pemikiran Heidegger tidak sama dengan bumi atau alam semesta belaka atau lingkungan kita, melainkan (dari sudut pandang Dasein) suatu tempat untuk dimukimi. Dunia itu suatu keseluruhan dimana ada manusia menemukan dirinya sudah terlempar kedalamnya, dengan segala kemanifestasiannya. Dunia tidak dapat dipahami dengan menaksir entitas yang ada di dalamnya karena dengan cara ini dunia tidak akan mempunyai arti. Dengan kata lain, dunia tidak hanya dipahami sebagai tindakan mengetahui suatu entitas.

Heidegger menekankan pentingnya ‘dunia’ dengan menyebut kegiatan berada Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Pengunaan garis hubung menekankan bahwa tidak ada jarak antara diri kita dengan dunia. Kita merupakan bagian dunia seperti dunia merupakan bagian kita. Seorang pribadi tanpa dunia tidak masuk akal. Seorang memandang dengan benar melalui dunia, bahkan ia tidak bisa melihat Dasein atau apapun dalam kemanifestasiannya sendiri tanpa dunia itu. Dunia dan Dasein merupakan relitas yang tak terpisahkan.

Kata ‘dalam’ pada ‘berada-dalam-dunia’ juga harus dimengerti dengan tepat. Arti kata depan itu di hadapan Heidegger sangat kompleks. Makna pernyataan: Dasein berada-dalam-dunia tidak dimengerti seperti air ‘dalam’ gelas atau pakaian ‘dalam’ almari. Apa bedanya? Air, pakaian, gelas, dan almari dengan cara yang sama berada ‘dalam’ suatu tempat. Sedangkan Dasein berada dalam dunia secara khas. Dasein tak pernah ada di dalam ruang melainkan menduduki ruang. Dia tidak ‘terletak’ di suatu tempat tetapi memukimi suatu tempat. Kita tidak tergeletak di dalam dunia melainkan terlibat dan kerasan di dunia.

Apa yang ditemui Dasein di dunia? Dan bagaimana hubungan ada kita (sebagai Dasein) dengan obyek yang ada di dalamnya? Jika kita berada dalam suatu ruang kuliah, kita akan menjumpai ada kursi, meja, lampu, papan tulis, alat tulis dan alat-alat lainnya atau juga benda-benda yang bukan alat atau teman dan dosen kita sendiri. Jika kita cermati, benda atau alat-alat tersebut adalah selalu “untuk sesuatu”. Ia mempunyai struktur ‘untuk’ karena itu selalu mengacu pada alat-alat lain. Kita sering mengunakan alat-alat itu nyaris secara spontan. Jika ada gangguan, misalnya alat tulis hilang atau kursi rusak atau lampu mati, maka sistem acuhan yang diandaikan begitu saja akan tersingkap dan disadari. Kita lalu menjadi sadar akan ketergantungan kita pada materi tersebut. Pengalaman ini mengasumsikan prinsip hermeneutis bahwa keberadaan sesuatu terungkap tidak dalam tatapan analitis kontemplatif melainkan dalam momen di mana ia muncul secara tiba-tiba dari kesembunyiannya dalam konteks dunia yang sangat fungsional.

F. Kebermaknaan Prapredikatif, Pemahaman dan Interpretasi           

Fenomen kerusakan yang menyingkapkan keberadaan sebuah alat sebagai alat mengarah pada ‘dunia’ yang sangat luas, tempat kita eksis. Dunia ini lebih dari sekedar lahan aktivitas prasadar persepsi pikiran. Ia adalah lahan di mana resistensi dan posibilitas dalam struktur ada membentuk pemahaman. Di sini temporalitas dan historisitas ada hadir secara tegas. Ada menyingkapkan dirinya dalam kebermaknaan, pemahaman dan interpretasi. Singkatnya, ia merupakan lahan proses hermeneutis di mana ada tertematisasikan sebagai bahasa.

Kebermaknaan yang dimaksudkan oleh heidegger adalah Rede atau percakapan. Percakapan di sini bukan dipahamai sebagai komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya dalam bahasa. Karena itu, dalam kebungkaman, manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan menunjukkan bahwa ‘percakapan’ itu bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian makna tanpa artikulasi apapun. Dua teman karib yang lama tidak berjumpa akan terpaku saling memandang tak berkata-kata saat mereka tak berjumpa lagi. Inilah momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan namun disampaikan lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing.

Pemahaman sangat berkaitan erat dengan kebermaknaan di atas. Pemahaman juga tidak dapat dipisahkan dari interpretasi karena interpretasi merupakan penerjemahan eksplisit dari pemahaman. Dalam pemahaman, suatu ‘dunia’ bisa dilihat sebagai ini atau sebagai itu. Ungkapan kata sebagai ini merupakan suatu terjemahan eksplisit pemahaman atau suatu interpretasi. Misalnya, seseorang yang baru di PHK termenung di taman sampai pada pemahaman akan makna hidupnya lalu mengambil keputusan untuk hidup masa depannya, ia telah melewati interpretasi atas situasi dirinya. Interpretasi disini bukan berarti meratapi pemecatannya, melainkan mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkannya. Dalam interpretasinya, ia bisa mengatakan: “O saya memahami musibah ini sebagai peluang untuk berkembang lebih baik”. Tentu yang dikatakannya itu juga tidak terpisah dari momen kebermaknaan prapredikatif yang telah dilaluinya yakni saat dia duduk termenung di taman. Inilah saat diam yang penuh makna, atau momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan lewat kata. Dengan demikian, pemahaman memiliki “pra-struktur” dalam semua proses interpretasi.

G.     Karakter Derivatif Pernyataan

Bagi Heidegger, “pernyataan” (Aussage) bukanlah suatu bentuk dasar interpretasi. Heidegger memberikan suatu contoh pernyataan: “Palu itu berat”. Ini merupakan suatu pemahaman yang terbentuk lewat logika. Dalam pernyataan ini, palu diinterpretasikan sebagai sesuatu dengan kekayaan sifatnya, dalam hal ini bobot beratnya. Lalu pernyataan ini menjadi penyataan logis yang menempatkan palu tidak lagi sebagai sebuah “alat” melainkan sebagai sebuah obyek. Pernyataan seperti ini akan memutuskan ada (palu) dari kebermaknaannya sebagai akar dari keberadaannya.

Hal ini juga dapat diaplikasikan pada perlakuan terhadap bahasa dewasa ini. Bahasa cenderung diperlakukan dalam pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa.  Ini membuktikan bahwa keseluruhan definisi bahasa tidak lagi memadai karena masih dalam tataran pernyataan dan gagasan-gagasan. Landasan yang sebenarnya dari bahasa adalah fenomen pembicaraan. Pembicaraan merupakan peristiwa di mana kata berfungsi sebagai kata. Dengan kata lain, dalam pembicaraan, bahasa ditempatkan sebagai “alat” dan bukan sebagai obyek.

 

 

 

 

Disarikan dari :

Richard E. Palmer, Hermeneutics, Evanston: Northwestern University Press, 1969 (Terjemahan Indonesia: Hermeneutika. Teori Baru Menngenai Interpretasi), hal. 143-161

 

 

Sumber pendukung :

Nafisul Atho’-Arif Fehrudin (Eds.), Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: IRCiSoD,2003

F. Budi Hardiman, Heideger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG,2003

Eric L.-Jennifer A. Pitts, Heidegger for Beginners, Writers and Readers Publishing, Inc., NY: 1994

(Terj. Heidegger untuk Pemula oleh P. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2001)